Ada beberapa isu besar terkait masalah hukum yang menyita perhatian publik Kebumen beberapa hari terakhir ini. Pertama adalah disidangkannya 4 orang penting Kebumen dengan status terdakwa pada Sidang Tipikor KPK di Semarang.
Mereka adalah, Bupati nonaktifkan, Mohammad Yahya Fuad, pengusaha Khayub Mohammad Luthfi, pengusaha Hojin Anshori, dan mantan anggota DPRD dari PDIP, Dian Lestari. Rabu (25/7) pekan depan untuk terdakwa Khayub M Lutfi agenda sidang adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa KPK.
Isu kedua adalah ramainya bursa bakal calon anggota legislatif yang akan menjadi wakil masyarakat Kebumen di lembaga DPRD. Isu ketiga adalah hajat "Kebumen Golet Carik" yang dimulai pendaftaran sejak Jum'at (20/7) kemarin.
Lantas apa kaitannya dengan asas Praduga Tak Bersalah (Persumption of Innocent) yang selama ini sering kita dengar, namun tidak semua paham penempatannya.
Menurut saya hal ini penting dan berkaitan, karena terkait dengan pembicaraan publik mengenai status 4 orang tersangka dan orang-orang yang ikut diperiksa sebagai saksi. Juga adanya pro kontra peraturan KPU tentang kebolehan mandan terpidana korupsi sebagai caleg. Juga adanya agenda penelusuran rekam jejak calon "Carik" yang akan memimpin lembaga Kesekretariatan Daerah.
Menurut saya, asas Persumption of Innocent adalah prinsip yang hanya mengikat kelompok tertentu, yaitu negara, dalam hal ini direpresentasikan oleh Lembaga Kehakiman atau Peradilan. Untuk kepolisian dan kejaksaan saya punya pandangan berbeda. Apalagi masyarakat luas, sama sekali tidak terikat dengan asas tersebut.
Masyarakat memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk menilai atau menyikapi perilaku orang lain. Berbaik sangka atau berburuk sangka adalah hak pribadi masing-masing orang dan menjadi tanggung jawabnya jika muncul konsekuensi hukum.
Jadi suatu hal yang lumrah jika masyarakat menerapkan sanksi sosial kepada para terperiksa dan siapapun yang tersangkut kasus pidana, entah statusnya sebagai terpidana, terdakwa, tersangka, bahkan ketika masih sebagai saksi sekalipun.
Konsekuensinya adalah masyarakat tidak akan memilih mereka sebagai wakilnya atau pemimpinnya. Karena masyarakat sudah menduga si calon ini sebagai koruptor atau pelaku kejahatan. Masyarakat memiliki filter dan mekanisme yang berbeda dengan lembaga peradilan dan prinsip hukum positif.
Pada sisi tertentu, asas Persumption of Innocent juga tidak berlaku bagi Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan. Ketika penyidik menemukan ada tindakan melawan hukum, kemudian menemukan orang yang pantas ditetapkan sebagai tersangka, maka status ini berarti seseorang disangka bersalah atau diduga bersalah.
Penetapan status tersangka oleh penyidik tidak main-main, karena sudah melalui proses penyidikan dan gelar perkara. Maka wajib hukumnya polisi mempertahankan pendapatnya, dan diteruskan dengan penuntutan oleh Kejaksaan.
Nah dalam kaitannya dengan caleg dan Calon Carik, polisi tentu harus memberi catatan ketika mereka meminta SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Dampak seriusnya adalah si calon tidak memenuhi syarat administratif ketika mendaftar sebagai caleg maupun Carik.
Sebagai bahan informasi mengapa saya berpendapat demikian, karena asas Praduga Tak Bersalah tercantum di dalam KUHAP dan secara spesifik di dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Asas praduga tak bersalah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”).
Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sedangkan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) , yang berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Prof. Andi Hamzah berpendapat bahwa asas presumption of innocent (praduga tidak bersalah) tidak bisa diartikan secara letterlijk (apa yang tertulis). Menurutnya, kalau asas tersebut diartikan secara letterlijk , maka tugas kepolisian tidak akan bisa berjalan. Prof. Andi berpandangan, presumption of innocent adalah hak-hak tersangka sebagai manusia diberikan. Hak-hak yang dia maksud misalnya kawin dan cerai, ikut pemilihan dan sebagainya.
Jadi, kesimpulannya adalah, masyarakat punya hak dan kebebasan untuk menghukum secara sosial kepada siapapun yang tersangkut kasus pidana, khususnya korupsi, terutama bagi para calon wakil rakyat dan calon pejabat.
Salam Indonesia Raya
Arief Luqman El Hakiem